7 September 1940, Mengenang Kelahiran Gus Dur: Satu-satunya Kiai yang Jadi Presiden Indonesia
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Hari ini, 7 September bertepatan dengan hari kelahiran KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Satu-satunya kiai yang pernah menjadi presiden Indonesia.
Lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil, 7 September 1940, Gus Dur menjadi Presiden keempat RI dari tahun 1999 sampai 2001 menggantikan Presiden ketiga BJ Habibie. Pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menjadi presiden setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999.
Selama menjalankan roda pemerintahan, Presiden Gus Dur dibantu Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Gus Dur dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Kursi presiden lalu jatuh kepada wakilnya, Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan KH Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Menariknya Gus Dur memiliki dua tanggal lahir, pertama Gus Dur dipercaya lahir pada 4 Agustus, tetapi gara-gara menggunakan kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya\'ban 1359 Hijriah, sama dengan 7 September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. "Addakhil" berarti "Sang Penakluk". Kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas". Gus juga dikenal sebagai sebutan untuk anak seorang kiai.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Nyai Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Gus Dur yang menikah dengan Sinta Nuriyah ini memiliki dua adik, Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Dari pernikahannya dengan Sinta Nuriyah, Gus Dur dikarunia empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Pada 1944, Gus Dur pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Gus Dur belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Ia juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Gus Dur berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP.
Pada 1957, setelah lulus dari SMP, Gus Dur pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Ia menjadi guru dan kepala sekolah madrasah di Jombang, dan juga bekerja menjadi jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Gus Dur juga pernah menimba ilmu di luar negeri. Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Selama di Mesir, Gus Dur tidak hanya kuliah, ia juga rutin menonton film Eropa dan Amerika, hingga menonton pertandingan sepak bola. Bahkan Gus Dur sempat menjadi wartawan majalan Asosiasi Pelajar Indonesia.
Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad, dan mendapatkan gelar pascasarjana di Universitas Baghdad pada 1970. Petualangan belajarnya berlanjut ke Universitas Leiden, Belanda, hingga ke Jerman, Prancis hingga kembali ke Indonesia pada 1971.
Sempat menjadi jurnalis dan penulis opini, Gus Dur selama puluhan tahun mengabdikan diri mengajar di pesantren dan universitas. Namun meski sudah pergi jauh, kaki Gus Dur tetap tidak bisa meninggalkan rumahnya, Nahdlatul Ulama. Kentalnya darah NU yang mengalir di dalam tubuhnya membuat Gus Dur akhirnya menerima tawaran dari kakeknya, Kiai Bisri, bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Sebagai anggota Dewan Penasihat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
Gus Dur pertama kali terjun ke dunia politik pada Pemilu 1982, di mana saat itu ia berkampanye untuk PPP, partai Islam di era Orba. Namun perjalanan politiknya saat itu tidak mulus, karena PPP disebut Gus Dur selalu diganggu pemerintah. Namun ketika memantapkan diri fokus menjaga NU, Gus Dur akhirnya mundur dari PPP.
Reformasi yang dilakukannya di NU membuat Gus Dur menjadi sangat populer di kalangan Nahdliyin. Pada saat Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur terpilih menjadi Ketua NU. Memimpin organisasi massa Islam besar di Indonesia membuat namanya semakin terkenal. Pengaruhnya bahkan membuat Presiden Soeharto menaruh hormat, meski pada akhir-akhir Orba, keduanya sering bersitegang.
Gus Dur yang terpilih kembali sebagai Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989, memaksa Presiden Soeharto yang saat itu terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mendekatinya. Soeharto saat itu mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka.
Bahkan pada Desember 1990, Soeharto membantu pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk menarik hati Muslim Intelektual, di mana ketuanya adalah Baharuddin Jusuf Habibie. Amien Rais hingga Nurcholish Madjid masuk dalam keanggotaan ICMI.
Gus Dur sempat diminta bergabung, tetapi menolak karena tidak setuju ICMI menjadi penyebab Soeharto tetap kuat. Bahkan pada tahun 1991, Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.
Kontroversi di era tersebut dibuat Gus Dur. Ide liberal Gus Dur mulai mengubah banyak pendukungnya menjadi tidak setuju. Sebagai ketua, Gus Dur terus mendorong dialog antar agama dan bahkan menerima undangan mengunjungi Israel pada Oktober 1994.
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi.
Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.
Gus Dur menasihati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDI-nya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU. beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur. Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada Juli 1997 merupakan awal dari Krisis Finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Gus Dur didorong untuk melakukan reformasi dengan Megawati dan Amien, tetapi ia terkena stroke pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Gus Dur melihat situasi terus memburuk dengan pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti.
Gus Dur, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto pada 19 Mei 1998. Soeharto memberikan konsep Komite Reformasi yang ia usulkan. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Gus Dur memiliki pendirian yang lebih moderat dengan Soeharto dan meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya.
Hal tersebut tidak disukai Amien, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan Amien dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bentukan Megawati.
Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum.
Gus Dur menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan Penasihat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan PKB terbuka untuk semua orang.
Dalam pertemuan di Ciganjur pada November 1998, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan Hamengkubuwono X kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Dan pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Ketika Pemilu digelar pada Juni 1999, PKB meraih 12 persen suara. Namun pemenang Pemilu 1999 adalah PDIP yang meraup 33 persen suara. Megawati pun diperkirakan akan memenangkan Pilpres pada Sidang Umum MPR. Sayangnya PDIP tidak memiliki kursi mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB.
Satu bulan setelahnya Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan komitmen PKB terhadap PDIP mulai berubah. Amien dan Poros Tengah pada 7 Oktober 1999 secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden.
Penolakan MPR atas pidato pertanggungjawaban Habibie pada 19 Oktober 1999, membuat teknokrat jebolan Jerman itu pun mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua DPR menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur.
Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan jenderal Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Lantunan shalawat menggema di Gedung MPR ketika Gus Dur terpilih menjadi Presiden. Sementara Megawati mendampingi menjadi wakil presiden. Keduanya pun menjalankan roda pemerintahan warisan Habibie dengan harus melewati masa transisi politik dan krisis ekonomi.
Ketika menjadi presiden, Gus Dur membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang terdiri dari koalisi PDIP, PKB, Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam kabinet tersebut. Kebijakan yang membuat rakyat terkejut adalah pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Deppen dibubarkan karena dinilai sebagai senjata utama rezim Soeharto dalam menguasai media, sementara alasan membubarkan Depsos karena disebut Gus Dur sebagai sarang korupsi.
Tak hanya itu, Gus Dur juga melalukan kunjungan dan pendekatan terhadap banyak negara. Mulai dari negara-negara ASEAN, Jepang Amerika Serikat, Qatar, Kuwait, Yordania, dan China. Yang paling kontroversial adalah pendekatan Gus Dur dengan Israel, Zionis yang menjajah Palestina.
Di dalam negeri, Gus Dur melakukan pendekatan di Aceh dan Papua. Ia memberikan Aceh referendum, tetapi referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut.
Pemerintahan Gus Dur juga melakukan negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Maret 2000. Dua bulan setelahnya, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan akan melanggar persetujuan.
Pada 30 Desember, Gus Dur mengunjungi Jayapura di Provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Gus Dur berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. Yang tak kalah kontroversial, Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Dan tentu saja dari semua itu, usaha Gus Dur membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang paling ditentang banyak pihak.
Dari semua kontroversi dan kebijakan yang dianggap nyeleneh tersebut, muncul gejolak politik dan gelombang ketidakpuasan terhadap pemerintahan Gus Dur. Tak hanya itu, isu dugaan keterlibatan Gus Dur dalam sejumlah kasus korupsi menjadi catatan hitam. Belum lagi gesekannya dengan TNI dan sejumlah partai politik seperti PDIP, Golkar, dan PPP karena memecat menteri-menteri yang berasal dari parpol koalisi.
Pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri. Gus Dur terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, tetapi akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden, aktivitas Gus Dur di dunia perpolitikan tetap berjalan. Namun, PKB yang dibidaninya bermasalah dan mengalami perpecahan. Hingga ada dua kubu PKB Gus Dur yang dikenal sebagai PKB Kuningan dan PKB Matori yang dikenal sebagai PKB Batutulis.
Pada 2004 sebenarnya Gus Dur masuk dalam daftar kandidat capres setelah PKB memperoleh 10,6 persen suara. Namun KPU menolak memasukkan Gus Dur sebagai capres karena gagal melewati pemeriksaan medis.
Gus Dur lalu mendukung Solahuddin maju bersama Wiranto. Sayangnya pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam putaran pertama. Di putara kedua antara SBY- Jusuf Kalla melawan Megawati-Hasyim Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
Hari-hari Gus Dur dihabiskan dengan membaca. Namun, gangguan penglihatan sering kali menghambat hobinya tersebut. Tak hanya soal penglihatan, ia juga beberapa kali mengalami serangan stroke, diabetes dan gangguan ginjal. Gus Dur pun harus menjalani hemodialisis (cuci darah) rutin. Hingga pada Rabu, 30 Desember 2009 pukul 18.45 WIB, Gus Dur meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, akibat berbagai komplikasi penyakit tersebut. Gus Dur dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
.
TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA:
.
BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"
> Rektor ITK Singgung Manusia Gurun, Teringat Humor Gus Dur Tentang Unta Hewan Gurun yang Pendendam
> Kiai Tampar Anggota Banser: Kiai Gak Dijaga Malah Gereja yang Dijaga!
> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah
> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU
> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama
> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab
> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan
> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.