Rakyat Indonesia Hidup Susah dari Perang Diponegoro, Inflasi Zaman Soekarno, Krismon Era Soeharto
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya, History of Java, pada 1817 memperkirakan penduduk pribumi di Pulau Jawa dan Madura pada abad ke-19 hanya sekitar 4,5 juta jiwa. Jumlah itu berdasarkan cacah jiwa tahun tersebut yang dilakukan selama pemerintahan Inggris di Jawa.
Satu abad kemudian (1930), jumlahnya meningkat hampir 10 kali lipat menjadi 41 juta jiwa. Kini, dari sekitar 220 juta penduduk Indonesia, sekitar dua pertiga mendiami Pulau Jawa. Tidak heran kalau ada yang meramalkan, pada tahun 2030 (satu abad setelah 1930) hampir tidak ada lagi lahan pertanian di Jawa.
Tanda-tandanya, sekarang ini longsor terjadi di banyak tempat di Jawa, akibat penggundulan hutan secara semenamena yang juga berdampak banjir. Kini makin santer seruan agar pembangunan di Indonesia bagian timur yang tertinggal jauh dipercepat.
Pendiri kota Singapura, yang berkuasa selama lima tahun di Jawa, itu mencatat rata-rata penduduk makan sehari dua kali. Sekitar pukul 10 pagi dan lima sore, yang disebut makan besar. Pagi hari berupa sarapan.
Di luar waktu itu disebut mindo. Sarapan juga tidak seperti sekarang. Hanya dengan kopi beserta ubi rebus atau pisang goreng. Kebiasaan itu sampai sekarang masih dilakukan di daerah-daerah pedesaan dan pinggiran kota Jakarta. Tahun 1950-an, pergi ke sekolah hanya diberi jajan sepicis (10 sen).
Jauh sebelum masa tersebut, terutama setelah berakhirnya Perang Jawa, yakni perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda pada 1825, karena keadaan sudah aman disebut zaman normal. Pada zaman itu, rata-rata orang Indonesia menurut versi kolonial Belanda hidupnya sebenggol atau segobang atau dua setengah sen.
Uang rupiah paling kecil setelah merdeka pernah seperak, walau seperak atawa cetun sudah tidak ada harganya sama sekali. Bahkan, sebutan Pak Ogah sudah tidak tepat, karena mereka pasti marah kalau hanya dikasih doku cepek (seratus). Bahkan gope pun mereka enggan menerimanya. Minimal seceng alias seribu perak.
Kembali ke zaman normal yang terjadi sebelum resesi ekonomi 1929, uang yang terkecil bukan sen, tapi cepeng atau setengah sen. Menurut para orang tua, uang cegin berupa koin lebih kecil dari Rp 50, bisa beli terasi, cabai dan bawang.
Punya duit satu sen juga berupa koin yang setengahnya bolong bisa beli nasi uduk. Sedangkan sepincang atawa satu setengah sen dapat membeli nasi uduk dengan tahu serta lauknya. Atau jajanan pengisi perut lainnya seperti kue serabi, kue apem, gemblong dan lain-lain.
Lalu berapa harga beras yang merupakan kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan uang seketip atau lima sen dapat digunakan untuk membeli beras dua liter. Kala itu para petani umumnya surplus beras, dan hanya orang-orang kota yang memerlukannya. Dengan uang seketip kita dapat menikmati makan enak di restoran-restoran.
Dengan uang sepicis (10 sen) kita bisa membeli gado-gado lengkap. Bisa dengan lontong atau nasi. Dan, kalau uang itu dikumpulkan sampai cetun (seperak), kita bisa nonton bioskop kelas satu, seperti Garden Hall dan bioskop Menteng. Dengan uang goceng atau lima perak, pada 1950-an kita bisa mentraktir cewek nonton bioskop.
Masih di tahun 1950-an, harga bir cap jangkar dan bintang seringgit (dua setengah perak). Pada masa itu terkenal dengan istilah prit jigo (dua puluh lima perak), kalau pelanggar lalu lintas ketangkap polisi. Sekarang naik hampir 100 kali lipat menjadi noban atau Rp 20 ribu bahkan bisa cepe ribu alias Rp 100 ribu.
Saat BI lahir pada 1953, Indonesia masih berusaha melepaskan diri dari bayang-bayang cengkeraman penjajah. Hampir bersamaan uang Belanda yang dikenal dengan istilah uang merah didevaluasi dan nilainya menjadi setengah dari nilai resmi. Dikenal dengan istilah gunting untuk Syafrudin.
Kala itu belum ada televisi, dan pengumuman gunting uang yang tiba-tiba sangat menghebohkan. Tiba-tiba saja rakyat berbondong-bondong menyerbu toko-toko. Di masa itu gejolak politik terjadi di berbagai daerah. Pengeluaran membengkak dan ekspor belum berkembang.
Dalam masa demokrasi terpimpin (1959-1966), kondisi keuangan pemerintah memburuk akibat saratnya agenda politik. Suhu politik meninggi, sementara tingkat inflasi mencapai 635 persen pada 1966. Pada masa Orde Baru, kondisi negara segera membaik. Tingkat inflasi turun hingga di bawah 10 persen.
Tapi, pada masa 1983-1997 keuangan negara tertekan akibat turunnya harga minyak di pasaran dunia dan melesunya ekonomi dunia. Kondisi perekonomian yang mulai membaik buyar setelah medio Juli 1997, ketika krisis ekonomi di Asia menjalar ke Indonesia. Di negeri ini, krisis meluas ke berbagai dimensi.
Pada 1997-1999 (masa krisis ekonomi moneter) berbagai kebutuhan pokok menjadi langka di pasaran. Publik kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Demonstrasi dan protes terus bergulir. Perubahan kepemimpinan nasional tidak membawa perubahan. Klimaksnya terjadi 21 Mei 1998 dengan hengkangnya Pak Harto .
Krisis seperti yang terjadi 11 tahun lalu itu kini terjadi lagi. Beberapa perusahaan terpaksa men-PHK buruhnya. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot. Semoga kita berhasil menghadapi krisis global ini.
.
TONTON VIDEO PILIHAN:
BACA BERITA MENARIK LAINNYA:
> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja
> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram
> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"
> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah
> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah Jadi Imam Tarawih di Masjid NU
> Humor Gus Dur: Yang Bilang NU dan Muhammadiyah Berjauhan Hanya Cari Perkara, Yang Dipelajari Sama
> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab
> Humor Ramadhan: Puasa Ikut NU yang Belakangan, Lebaran Ikut Muhammadiyah yang Duluan
> Muhammadiyah Tarawih 11 Rakaat, Pakai Formasi 4-4-3 atau 2-2-2-2-2-1?
.
Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: kurusetra.republika@gmail.com. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.