BMKG Pastikan Tidak Ada Gelombang Panas Ekstrem di Indonesia, Ini Penjelasannya
BANDUNG, iNews.id - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memastikan tidak ada gelombang panas ekstrem di Indonesia. Sampai saat ini, suhu tertinggi di Indonesia tercatat 37,2 derajat celcius.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, suhu panas di Indonesia bukan gelombang panas ekstrem, dan suhu maksimum harian sudah mulai turun.
Fenomena udara panas yang terjadi di Indonesia belakangan, jika ditinjau secara lebih mendalam, secara karakteristik fenomena dan indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk dalam kategori gelombang panas karena tidak memenuhi kondisi-kondisi tersebut.
Secara karakteristik fenomena, suhu panas yang terjadi di Indonesia merupakan akibat dari gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus biasa dan terjadi setiap tahun.
Karena itu, potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode sama setiap tahunnya, kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Sedangkan secara indikator statistik suhu kejadian, lonjakan suhu maksimum yang mencapai 37,2 derajat Celsius melalui pengamatan stasiun BMKG di Ciputat pada pekan lalu hanya terjadi satu hari pada 17 April 2023.
Suhu tinggi tersebut sudah turun dan kini suhu maksimum teramati berada dalam kisaran 34 hingga 36 derajat Celsius di beberapa lokasi.
Variasi suhu maksimum 34 derajat- 36 derajat Celsius untuk wilayah Indonesia masih dalam kisaran normal klimatologi dibandingkan tahun- tahun sebelumnya.
Secara klimatologis, dalam hal ini untuk Jakarta, bulan April-Mei-Juni adalah bulan-bulan di mana suhu maksimum mencapai puncaknya, selain Oktober-November, ujar Dwikorita Karnawati.
Kepala BMKG menuturkan, soal keterkaitan gelombang panas dan radiasi ultraviolet, besar kecilnya radiasi UV yang mencapai permukaan bumi memiliki indikator nilai indeks UV.
Indeks ini dibagi menjadi beberapa kategori: 0-2 (Low), 3-5 (Moderate), 6-7 (High), 8-10 (Very high), dan 11 ke atas (Extreme).
Secara umum, pola harian indeks ultraviolet berada pada kategori Low di pagi hari; mencapai puncaknya di kategori High, Very high, sampai Extreme ketika intensitas radiasi matahari paling tinggi di siang hari antara pukul 12.00 sampai dengan 15:00 waktu setempat; dan bergerak turun kembali ke kategori Low di sore hari.
Pola ini bergantung pada lokasi geografis dan elevasi suatu tempat, posisi matahari, jenis permukaan, dan tutupan awan, tutur Kepala BMKG.
Tinggi rendahnya indeks UV tidak memberikan pengaruh langsung pada kondisi suhu udara di suatu wilayah.
Untuk wilayah tropis seperti Indonesia, pola harian seperti disampaikan di atas secara rutin dapat teramati dari hari ke hari meskipun tidak ada fenomena Gelombang Panas, ucap Dwikorita Karnawati.
Faktor cuaca lainnya seperti berkurangnya tutupan awan dan kelembapan udara dapat memberikan kontribusi lebih terhadap nilai indeks UV.
Untuk lokasi dengan kondisi umum cuacanya diprakirakan cerah-berawan pada pagi sampai dengan siang hari dapat berpotensi menyebabkan indeks UV pada kategori Very high dan Extreme di siang hari.
Masyarakat disarankan agar tidak perlu panik menyikapi informasi UV harian tersebut, serta mengikuti dan melaksanakan himbauan respons bersesuaian yang dapat dilakukan untuk masing- masing kategori index UV.
Seperti gunakan perangkat pelindung atau tabir surya apabila melakukan aktifitas di luar ruangan.