Mengenal Miliarder Mi Udon, Takaya Awata yang Kini Punya 2.000 Restoran di 28 Negara

Mengenal Miliarder Mi Udon, Takaya Awata yang Kini Punya 2.000 Restoran di 28 Negara

Berita Utama | sindonews | Sabtu, 5 Oktober 2024 - 23:37
share

Memulai dari restoran kecil skala lokal, Takaya Awata mengubahnya menjadi raksasa layanan cepat saji Toridoll Holdings. Saat ini miliarder mie asal Jepang itu mulai merasakan kesuksesannya secara global.

Semuanya berawal ketika Takaya Awata memakai tabungannya yang sedikit untuk membuka sebuah restoran kecil di Kakogawa, sebuah kota pesisir di lepas pantai Laut Pedalaman Seto Jepang. Pria berusia 23 tahun itu menamakannya Toridoll Sanban-kan, atau toko Toridoll No.3.

Nama itu menjadi janji pada dirinya sendiri bahwa toko nomor satu dan dua hanya masalah waktu dan dia akan segera mencapai tujuannya yang sederhana yakni memiliki tiga restoran.

Empat dekade kemudian, Awata Tokyo melantai dibursa melalui Toridoll Holdings yang memiliki jaringan hampir 2.000 restoran cepat saji di 28 negara dan wilayah yang mencakup 21 brand. Andalannya adalah Marugame Seimen, restoran ritel mi udon terbesar di Jepang berdasarkan pendapatan dan jumlah toko.

Kesuksesan menjadi pengusaha makanan cepat saji telah membuat Takaya Awata menjadi miliarder dan mengasah ambisinya. "Saya ingin Toridoll bersaing dalam skala global," kata presiden dan CEO berusia 62 tahun itu di kantor pusatnya di distrik Shibuya Tokyo.

Ia menambahkan, dirinya bercita-cita untuk menjadikannya perusahaan miliknuya Toridoll Holdings bernilai 1 triliun yen atau USD7 miliar berdasarkan pendapatan dalam dekade berikutnya. Untuk mencapai target tinggi tersebut, Awata ingin mengurangi ketergantungan Toridoll pada pengunjung domestik di pasar domestik yang menyusut dan mulai fokus pada ekspansi ke luar negeri.

Industri restoran cepat saji secara global tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan 5 antara 2019 dan 2023 menjadi lebih dari USD1 triliun, untuk membuatnya menjadi sektor dengan pertumbuhan tercepat di antara pasar layanan makanan secara keseluruhan. Hal ini disampaikan oleh Tommaso Nastasi, mitra yang berbasis di Milan di perusahaan konsultan Deloitte.

Namun di Jepang yang menghadapi tantangan populasi yang mulai bertambah tua, lebih sedikit pekerjaan penuh waktu dan upah yang stagnan, operator restoran juga harus bergulat dengan kenaikan biaya dan kekurangan pekerja.

Selain itu kata Awata, bisnis makanan di negara Jepang sangat kompetitif. Tumbuh di dalam negeri berarti merebut pangsa pasar dari rivalnya seperti Hanamaru, rantai restoran udon lokal berusia lebih dari seabad yakni Yoshinoya Holdings.

Ditambah ada juga Zensho Holdings yang terdaftar di Tokyo, yang terkenal lewat jaringan mangkuk daging sapi Sukiya dengan harga terjangkau, yang didirikan oleh sesama miliarder Kentaro Ogawa. Toridoll juga harus bersaing dengan raksasa makanan cepat saji Amerika seperti McDonald's dan KFC, yang di antaranya mengoperasikan lebih dari 4.000 toko di Jepang.

Persaingan untuk merebut pengunjung tidak hanya datang dari restoran lain, tetapi juga kotak makan siang bento dan bola nasi di toko serba ada serta makanan siap saji supermarket, menurut analis Daiwa Securities yang berbasis di Tokyo, Shun Igarashi. "Dengan diversifikasi dalam tren makan, perusahaan berebut untuk mendapatkan pelanggan," katanya.

Meskipun demikian, Toridoll, sebagian didukung oleh masuknya wisatawan ke Jepang, untuk membuatnya membukukan rekor pendapatan sebesar 232 miliar yen pada tahun fiskal terakhir yang berakhir Maret, dengan 38 dihasilkan dari luar negeri.

Laba bersih naik 48 menjadi 5,7 miliar yen, dibantu oleh pelemahan yen mendorong keuntungan yang direpatriasi dari cabang luar negeri. Tetapi saham Toridoll, diperdagangkan pada kelipatan pendapatan tinggi setelah pandemi, karena orang-orang kembali makan di luar, dimana tercatat terkoreksi 5 dalam 12 bulan terakhir.

Awata, yang menjadi miliarder tahun lalu dan mendapatkan tempat di jajaran 50 orang terkaya di Jepang, memiliki kekayaan bersih belum lama ini sebesar USD1,1 miliar atau setara Rp16,8 triliun (kurs Rp15.324 per USD).

Pada Maret 2028, Toridoll menargetkan, peningkatan laba bersih lebih dari tiga kali lipat dengan penjualan 420 miliar yen -di mana hampir setengahnya berasal dari luar Jepang. Ia menjelaskan, hal itu dapat dicapai dengan meningkat jumlah toko lebih dari dua kali lipat menjadi 4.900, di mana 3.000 di antaranya harus menjadi cabang luar negeri.

(Perusahaan memiliki semua kecuali empat dari hampir 1.100 toko domestiknya, sementara setengah dari 861 toko yang berada luar negeri dioperasikan sebagai waralaba atau usaha patungan.) Awata mengatakan, dia memperkirakan pendapatan luar negeri akan jauh lebih tinggi, mendekati 60 dalam tiga hingga lima tahun ke depan.

Target Ekspansi

Toridoll memasang target menggandakan pendapatan menjadi 420 miliar yen dan menumbuhkan restoran baru menjadi 4.900, dengan 3.000 di luar negeri, dalam empat tahun ke depan.

Mengandalkan brand Toridoll, atau yang dikenal sebagai Marugame Udon di luar Jepang, tercatat sudah memiliki 264 toko di luar negeri, pada beberapa lokasi yang jauh seperti Hawaii dan Phnom Penh.

Awata melayani selera lokal, dengan berbagai inovasi misalnya, kaldu pedas di Indonesia dan mangkuk udon dingin dengan salad hijau dan ayam goreng di AS. Terlepas dari rantai udon, portofolio perusahaan mencakup restoran yang menyajikan berbagai masakan, mulai dari jajanan jalanan Asia, ramen dan yakitori hingga beberapa hidangan Barat, termasuk pizza dan pancake.

Bagaimanapun, Awata yakin bahwa dia memiliki saus rahasia untuk membuatnya berhasil. "Kami telah banyak memikirkan cara menarik pelanggan," katanya. "Kami bekerja untuk menciptakan momen yang membuat mereka berpikir, 'Oh, itu terlihat bagus.'"

Topik Menarik