Bersaing atau Berkolusi?

Bersaing atau Berkolusi?

Berita Utama | sindonews | Sabtu, 17 Agustus 2024 - 09:51
share

Candra Fajri Ananda Staf Khusus Menteri Keuangan RI

DUA dekade lalu, para ahli ekonomi dan sosiolog meramalkan perubahan besar yang akan datang seiring dengan semakin terintegrasinya ekonomi global. Teori-teori tentang pasar bebas, perdagangan internasional, dan aliran modal lintas negara menjadi dasar bagi banyak diskusi tersebut.

Salah satu teori yang paling dominan pada masa itu adalah Teori Keunggulan Komparatif dari David Ricardo, yang menyatakan bahwa negara-negara akan semakin fokus pada produksi barang dan jasa yang memiliki keunggulan komparatif, dan akan lebih mengandalkan perdagangan internasional untuk kebutuhan lainnya.

Teori ini menggambarkan dunia di mana integrasi ekonomi global akan meningkatkan efisiensi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Seiring berjalannya waktu, globalisasi bukan lagi konsep abstrak yang hanya dibahas dalam seminar atau jurnal akademis, melainkan realitas konkret yang memengaruhi setiap aspek kehidupan kita.

Salah satu dampak paling nyata dari globalisasi adalah persaingan usaha yang semakin ketat. Dalam dunia yang semakin terhubung, pelaku usaha dari berbagai negara dapat bersaing di pasar yang sama, mengubah cara kita memandang bisnis lokal. Hal ini diperkuat oleh perkembangan teknologi yang pesat, terutama di bidang komunikasi dan informasi, yang telah menghapus banyak hambatan yang dulu menghalangi integrasi ekonomi global.

Kini, di era globalisasi yang semakin mendalam, persaingan dunia usaha telah berubah menjadi arena yang sangat dinamis dan kompetitif. Setiap pelaku usaha baik yang berskala kecil, menengah, maupun besar dihadapkan pada tantangan yang sama yakni upaya bertahan dalam persaingan yang semakin terbuka serta perluasan pasar.

Saat ini, memperluas market size menjadi sebuah langkah strategis yang tak hanya menawarkan peluang untuk menjangkau konsumen baru, melainkan juga menjadi faktor penentu keberlanjutan usaha di tengah kompetisi yang semakin ketat. Tatkala pasar yang lebih luas berhasil diraih, maka arus barang dan jasa pun akan semakin lancar, sehingga akan terbuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.

Artinya, jika pelaku usaha yang mampu memanfaatkan peluang tersebut, maka akan menikmati pertumbuhan yang lebih pesat. Sementara yang gagal beradaptasi, maka akan tertinggal. Berada dalam era persaingan terbuka di semua lini, memperluas pasar bukanlah tugas yang mudah. Persaingan yang semakin ketat mengharuskan para pelaku usaha terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi agar tetap relevan di pasar.

Biaya produksi yang lebih rendah, manajemen rantai pasokan yang lebih baik, serta strategi pemasaran yang tepat, semuanya menjadi elemen penting dalam menghadapi persaingan. Setiap perusahaan harus siap bersaing di berbagai pasar dengan efisiensi operasional sebagai modal utama. Persaingan yang semakin ketat mutlak mengharuskan para pelaku usaha untuk terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi agar tetap relevan di pasar.

Perusahaan yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan ini akan menghadapi risiko serius untuk tersingkir dari arena bisnis. Sebab itu, memperluas market size adalah langkah penting, namun lebih dari itu, keberhasilan dalam persaingan sangat bergantung pada kemampuan setiap perusahaan untuk terus meningkatkan efisiensi dan daya saing di pasar yang semakin global.

UMKM Indonesia di Era Globalisasi

Globalisasi telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat. Alhasil, fenomena ini telah menciptakan dinamika baru dalam dunia usaha, di mana efisiensi menjadi kunci utama untuk bertahan hidup. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa globalisasi membawa dampak signifikan terhadap pola persaingan usaha di seluruh dunia. Salah satu teori ekonomi yang relevan dalam konteks ini adalah Teori Schumpeterian tentang "Destructive Innovation".

Joseph Schumpeter mengemukakan bahwa inovasi adalah kekuatan pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural. Akan tetapi, inovasi yang sama juga dapat menghancurkan pelaku usaha yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang dihasilkan. Dalam era globalisasi dan teknologi yang berkembang pesat, inovasi bukan lagi pilihan tetapi kebutuhan. Perusahaan yang tidak mampu berinovasi dan meningkatkan efisiensi operasionalnya akan tergilas oleh kompetisi.

Sebuah studi oleh Bank Dunia pada 2018 mengungkapkan bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negara-negara berkembang sangat rentan terhadap dampak globalisasi dan digitalisasi. Teknologi digital, yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sering kali sulit diakses oleh UMKM karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Hasilnya, UMKM yang tidak mampu mengadopsi teknologi baru terpaksa beroperasi dengan cara-cara lama yang tidak lagi efisien, sehingga mereka semakin sulit bersaing di pasar yang kini didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah terintegrasi secara global dan didukung oleh teknologi canggih.

Selain itu, penelitian oleh McKinsey Global Institute (2019) juga menunjukkan bahwa perusahaan yang beroperasi di lingkungan global dan didukung oleh teknologi digital cenderung lebih efisien dan mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang tidak. Perusahaan-perusahaan tesebut mampu mengoptimalkan rantai pasokan, mengurangi biaya operasional, dan menjangkau pasar yang lebih luas. Sebaliknya, UMKM yang gagal mengadopsi teknologi digital sering kali tertinggal, dan pada akhirnya tidak mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat.

Di Indonesia, dampak dari situasi ini terasa lebih dalam. Industri tekstil nasional yang bergantung pada ekspor menghadapi tekanan dari dua arah yakni persaingan yang semakin intensif dari produsen asing dan penurunan permintaan global. Industri tekstil, yang merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia, mengalami tekanan dari persaingan global yang semakin ketat dan melemahnya permintaan dari pasar internasional.

Pada tahun 2023, ekspor tekstil Indonesia turun menjadi hanya 1,49 juta ton, dengan nilai ekspor mencapai USD 3,63 miliar. Angka tersebut merupakan salah satu capaian terendah dalam beberapa tahun terakhir, yang disebabkan oleh berkurangnya permintaan dari pasar utama seperti Amerika Serikat dan Eropa. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan banyak perusahaan tekstil lokal, terutama yang berskala menengah dan besar, kesulitan untuk mempertahankan efisiensi dan daya saing akibat biaya produksi yang semakin tinggi dan persaingan harga yang ketat.

Antara Kompetisi dan Kolaborasi

Menghadapi globalisasi dan teknologi secara langsung mengharuskan pelaku usaha untuk terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi operasional. Dalam konteks ini, kompetisi dianggap sebagai pendorong utama bagi peningkatan kualitas dan daya saing.

Usaha yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar dan teknologi cenderung lebih sukses dalam jangka panjang. Mereka yang memilih jalan ini sering kali berfokus pada diferensiasi produk, peningkatan layanan, dan adopsi teknologi terkini untuk tetap relevan di pasar yang semakin kompetitif.

Akan tetapi, kompetisi langsung juga membawa risiko besar, terutama bagi UMKM yang sering kali memiliki keterbatasan sumber daya. Ketidakmampuan untuk mengikuti laju perubahan teknologi atau menurunkan biaya produksi dapat menyebabkan kerugian, bahkan kebangkrutan. Oleh sebab itu, meski kompetisi dapat mendorong pertumbuhan, setiap unit usaha juga memerlukan kesiapan yang kuat dan sumber daya yang memadai.

Lantas, kolusi atau kolaborasi antara pelaku usaha bisa menjadi alternatif yang efektif untuk menekan biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi. Kolusi dalam hal ini tidak diartikan dalam konteks negatif seperti penetapan harga atau pengaturan pasar yang melanggar hukum, melainkan dalam bentuk kerjasama strategis yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, dua atau lebih perusahaan bisa bekerja sama dalam pengembangan teknologi, berbagi biaya riset dan pengembangan, atau bahkan berbagi infrastruktur untuk menurunkan biaya operasional.

Kolaborasi semacam ini memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan keahlian masing-masing, menggabungkan sumber daya, dan menciptakan sinergi yang dapat meningkatkan daya saing mereka di pasar global. Selain itu, dengan adanya kerjasama yang berjangka panjang dan saling menguntungkan, perusahaan dapat memperpanjang keberlangsungan usaha mereka dengan risiko yang lebih terkendali.

Kolaborasi dapat menjadi pilihan yang lebih menarik ketika pelaku usaha menghadapi tantangan yang terlalu besar untuk diatasi sendiri, seperti investasi teknologi tinggi atau masuk ke pasar baru yang berisiko. Kolaborasi juga efektif dalam situasi di mana sinergi antar perusahaan dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada jika mereka bersaing secara langsung.

Dalam hal ini, prinsip utama yang harus dipegang adalah bahwa kolaborasi harus memberikan keuntungan yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Tanpa adanya keseimbangan ini, kerjasama yang dibangun mungkin tidak akan bertahan lama, dan justru dapat menimbulkan konflik baru.

Pada akhirnya, pilihan antara menghadapi tantangan secara langsung atau berkolusi sangat bergantung pada situasi spesifik yang dihadapi oleh pelaku usaha. Kombinasi dari kedua pendekatan ini dapat menjadi strategi yang paling efektif, di mana perusahaan berkompetisi di beberapa area sambil berkolaborasi di area lain yang membutuhkan sinergi untuk mengurangi risiko dan menekan biaya.

Penting diingat juga bahwa fleksibilitas dan pemahaman yang tepat dalam menentukan waktu untuk bersaing atau bekerja sama adalah kunci bagi pelaku usaha untuk dapat bertahan dan bertumbuh di tengah tantangan globalisasi serta teknologi yang terus berkembang. Semoga.

Topik Menarik