Sejarah Hubungan Mahmoud Abbas dan Benjamin Netanyahu, Penuh Ketegangan dan Dinamika Politik

Sejarah Hubungan Mahmoud Abbas dan Benjamin Netanyahu, Penuh Ketegangan dan Dinamika Politik

Berita Utama | okezone | Kamis, 15 Agustus 2024 - 16:26
share

PALESTINA - Hubungan antara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu , telah mengalami dinamika yang penuh ketegangan dan perubahanpolitik. Keduanya mewakili dua pihak utama dalam konflik Israel-Palestina, dan interaksi mereka mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam proses perdamaian yang sulit.

Dilansir dari BBC News, Mahmoud Abbas menjadi Presiden Otoritas Palestina pada Januari 2005 setelah kematian Yasser Arafat. Sementara itu, Netanyahu memulai masa jabatannya sebagai Perdana Menteri Israel pada Maret 2009, menjadikannya seorang pemimpin dengan sikap yang relatif berbeda terhadap proses perdamaian dibandingkan dengan pendahulunya, Ehud Olmert.

Pada awal masa kepemimpinan Netanyahu, ada sedikit harapan untuk kemajuan dalam negosiasi damai, terutama karena Netanyahu menekankan keberlangsungan pemukiman Israel di Tepi Barat, yang dianggap sebagai penghalang besar bagi solusi dua negara.

Selama periode ini, Mahmoud Abbas dan Benjamin Netanyahu bertemu beberapa kali, namun hasilnya sering kali mengecewakan. Abbas menginginkan perundingan yang serius mengenai perbatasan, pemukiman, dan status Yerusalem, sementara Netanyahu tidak menunjukkan kesediaan untuk membuat konsesi signifikan. Pada September 2010, dialog langsung antara kedua pihak dimulai di Washington D.C. di bawah mediasi AS, tetapi negosiasi tersebut gagal karena kebuntuan mengenai moratorium pemukiman dan persyaratan dasar untuk melanjutkan perundingan.

Dikutip dari Al Jazeera, selama tahun-tahun berikutnya, hubungan antara Abbas dan Netanyahu terus memburuk. Pada 2012, Abbas berhasil mendapatkan status pengamat non-anggota di PBB untuk Palestina, yang membuat Netanyahu dan pemerintahannya semakin tidak senang. Netanyahu menganggap langkah ini sebagai upaya unilateralis untuk memperoleh pengakuan internasional tanpa melalui negosiasi langsung dengan Israel. Tindakan ini memperburuk ketegangan dan menghambat potensi kemajuan dalam dialog damai.

Ketegangan semakin meningkat dengan pecahnya Intifada ke-3 pada 2015 dan peningkatan kekerasan yang berulang di wilayah pendudukan. Netanyahu, yang menghadapi kritik domestik dan internasional, memperkuat kebijakan keamanan dan pembangunan pemukiman, sementara Abbas menghadapi tekanan dari dalam negeri dan masyarakat internasional untuk menanggapi dengan tindakan politik yang lebih tegas.

Situasi ini mengarah pada konflik yang lebih intens, dengan kedua belah pihak saling menuding dan membantah tanggung jawab atas kekacauan yang ada.

Dikutip oleh The Guardian, pada 2017, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu reaksi keras dari Abbas dan mengganggu rencana perdamaian yang dirancang oleh administrasi AS. Abbas mengecam keputusan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan menegaskan kembali posisi Palestina dalam masalah Yerusalem. Netanyahu menyambut keputusan Trump dan terus mendukung rencana pemukiman yang dianggap kontroversial dan mengabaikan konsesi penting yang diinginkan Abbas.

Dalam beberapa tahun terakhir, usaha untuk menghidupkan kembali perundingan perdamaian sering kali terhenti. Netanyahu dan Abbas terlibat dalam retorika saling tuding dan perselisihan publik, dengan kedua belah pihak menunjukkan sedikit minat untuk melanjutkan negosiasi yang konstruktif. Usaha diplomasi dari berbagai pihak internasional juga mengalami kebuntuan, dengan Netanyahu mengklaim bahwa Abbas tidak berkomitmen untuk perdamaian dan Abbas mengkritik Israel atas kebijakan pemukiman dan tindakan militer yang dikutip dari Reuters.

Hubungan antara Mahmoud Abbas dan Benjamin Netanyahu mencerminkan ketegangan mendalam dalam konflik Israel-Palestina yang lebih luas. Meskipun ada periode interaksi dan upaya diplomatik, ketidakpercayaan dan perbedaan mendalam dalam tujuan dan kebijakan sering kali menghambat kemajuan menuju perdamaian yang langgeng.

Topik Menarik