Pameran Tunggal Mella Jaarsma “Tiga Pasang Tangan” di Lawangwangi Creative Space

Pameran Tunggal Mella Jaarsma “Tiga Pasang Tangan” di Lawangwangi Creative Space

Gaya Hidup | bandungraya.inews.id | Jum'at, 10 Mei 2024 - 21:30
share

BANDUNG, iNewsBandungraya.id - Isu politik pangan tidak hanya persoalan nasional, tetapi berdampak global sejak perubahan iklim mengancam peradaban manusia di muka bumi ini. 

Korporasi antarnegara turut menggerakkan ekonom global pada sektor ini, walhasil politik pangan dengan sudut pandang liberal digunakan pelbagai pemerintah dengan mindset korporasi untuk meneruskan proyek-proyek multinasional yang dikenal dengan istilah global food and environment program.

Pemerintah Indonesia sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sampai Jokowi tidak mau ketinggalan gerakan massif dari korporasi ini, maka lahan hutan di Kalimantan dan Papua pun dijadikan uji-coba proyek pangan yang digerakkan oleh korporasi yang bekerjasama dengan pemerintah. 

Fenomena itu telah menarik perhatian Mella Jaarsma, established female artist dari Yogyakarta, untuk meretas persoalan-persoalan sosial dan budaya sebagai dampak dari politik ekonomi pangan yang bergerak secara massif. “Tiga Pasang Tangan/Three Pairs of Hands” menjadi pilihan tajuk pameran tunggal Mella Jaarsma di Lawangwangi Creative Space, Bandung Barat, mulai 10 Mei sampai 10 Juni 2024, melibatkan Arham Rahman sebagai kurator pameran serta beberapa peneliti sektor pangan yang turut dihadirkan dalam pameran ini. 

Mella Jaarsma pada pameran “Tiga Pasang Tangan” ini meretas proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek yang membabat hutan adat Suku Marind di Merauke untuk dijadikan area industri sawit dan ketahanan pangan. 

Masyarakat Suku Marind pun kehilangan sumber pangan harian yang sebelumnya melimpah. Atau yang paling anyar, program serupa di Kalimantan (food estate), yang secara ugal-ugalan mengubah hutan menjadi lahan pertanian jagung da mematikan sumber potensi pangan lokal.

 

Arham Rahman mencatat bahwa Gagasan yang diangkat oleh Mella diterjemahkan ke dalam berbagai jenis karya, dari drawing, video, dan karya instalasi dengan material yang beragam, baik itu material alami seperti daun pandan, kulit kayu, batang pohon pisang kering, tempurung kelapa, jerami, hingga benda temuan dan tekstil. Karya-karya tersebut merupakan kombinasi dari karya lama dan baru yang dianggap mewakili isu yang diketengahkan di dalam pameran ini.

Program pemerintah SBY hingga Jokowi - MIFEE - di Kalimantan dan Papua sinyalir mengubah ekosistem kehidupan masyarakat Papua dari berladang menjadi tanam padi, tebu, serta hubungan sosial masyarakatnya. Perubahan ekosistem (pencaharian masyarakat) Papua juga menggeser aspek sosial masyarakat Papua di daerah Merauke, yaitu suku Marind, dan suku Awyu - atau Awya adalah kelompok etnis yang mendiami daerah aliran Sungai Digul di Pesisir Papua Selatan di wilayah Kabupaten Mappi - serta suku Mandobo. 

Proyek korporasi itu mengedepankan kepentingan untuk mengejar standar pertumbuhan ekonomi yang kemudian mengubah ritme hidup masyarakat terdampak. Fenomena itulah yang dilihat oleh Mella Jaarsma sebagai konteks dan konten karya seni pada pameran tunggalnya kali ini di Lawangwangi Creative Space.

Pameran tunggal “Tiga Pasang Tangan” dari Mella Jaarsma menyajikan karya Instalasi seni, kostum, lukisan di atas kanvas dan kertas, fotografi, video seni, serta performance art di atas material karya dalam konteks persoalan politik pangan di Papua.

Usai pembukaan pameran “Tiga Pasang Tangan” Mella Jaarsma menyuguhkan performance art di atas selimut besar yang dibuat dari bahan kayu Lantung yang dijahit membentuk pola tanam dan kalender Jawa menggunakan tempurung kelapa yang jadi metaforma konversi lahan pertanian sagu - ciri khas pertanian tradisional masyarakat Papua – jadi tanaman padi, dengan karya berjudul "Blanket Talks/Selimut Bicara #1" di ruang galeri mulai pukul 19.00 WIB (berlangsung selama 60 menit) diperankan oleh Zuhdi Sang (peneliti, seniman), Idha Saraswati (peneliti digital farming), Gispa Ferdinanda (peneliti). 

Performance art tersebut menyajikan gerakan tiga subjek yang berdialog representasi data dari para peneliti mengenai program nasional pemerintah, yaitu MIFEE. Material "Selimut Bicara #1" terbuat dari kayu Lantung yang tumbuh di pesisir barat pulau Sumatera. Salah satu produk kerajinan lokal masyarakat Bengkulu dan Palu, Sulawesi Tengah.

 

Mella Jaarsma menjelaskan bahwa pameran tunggal "Tiga Pasang Tangan" di Lawangwangi Creative Space dimulai dari riset soal isu pangan di Indonesia. “Banyak masalah soal dasar kehidupan manusia, siklus alam, perubahan kampung. Ada pertanyaan apakah sebagai seniman masih urgent memproduksi karya seni? Bagaimana seni berkontribusi pada persoalan itu dengan menyuarakannya pada karya seni? Pada karya "Selimut Bicara #1" itu aku ingin publik bisa secara langsung berbicara pada karya ketimbang publik menginterpretasi terhadap karya saya. Orang bisa mendengar cerita orang lain secara langsung dalam pameran ini,” kata Mella Jaarsma di Lawangwangi Creative Space, Bandung Barat, Jumat (10/5/2024).

Mella, menurut kurator pameran, menoleh pada pengalaman masa lalu yang hilang, lalu mengaitkannya dengan situasi kita hari ini dan apa yang mungkin hadir di masa mendatang melalui dialog tiga orang penampil tersebut di atas; saling berbagi cerita mengenai persoalan pangan dan implikasinya pada lingkungan sebagaimana yang kita hadapi saat ini.

Andonowati, Direktur ArtSociates, mengatakan bahwa Pameran Mella Jaarsma ini sangat menarik dan kontekstual dengan persoalan-persoalan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia Timur. 

“Selain inspiratif dan kritis, karya-karyanya sangat akrab dengan kearifan lokal yang disajikan menjadi karya seni kontemporer. Mella Jaarsma pernah pameran tunggal di Lawangwangi Creative Space ketika saya mulai membangun galeri seni rupa kontemporer di sini,” 

Asmudjo Jono Irianto, pengajar FSRD ITB, mengatakan bahwa dilema yang dialami pemerintah terhadap ketahanan pangan nasional anggap saja jadi niat baik mereka, terlepas dari persoalan-persoalan sosial. 

Karya Mella pada pameran ini dibebankan oleh banyak persoalan-persoalan yang dinukil dalam konteks pameran ini. Harapan untuk seni rupa kontemporer bersifat kontributif pada persoalan-persoalan sekitar sudah pasti macet. Karena memang recognisi karya seni di masyarakat masih minim. Sekalipun kolektif seni menawarkan konsep lumbung sebagai metoda praktik seni rupa kontemporer saat ini.  

Pada akhirnya karya-karya yang ditampilkan Mella pada pameran ini, menurut Arham Rahman, tidak menawarkan satu kesimpulan moral atas persoalan-persoalan yang diamati. Akan tetapi, dia menodongkan serangkaian tegangan: manusia–alam, tradisi–kehidupan modern, pengetahuan lokal–kehidupan kontemporer secara terus-menerus. Lagipula, kita tidak bisa memanggil kembali sesuatu yang sudah hilang. Pengetahuan lokal yang berupaya dikais oleh Mella serupa residu dari masa lalu yang memungkinkan kita mempertanyakan ulang narasi besar tentang wacana “ketahanan pangan” yang digerakkan oleh semangat kapitalis-patriarki. (*)

Topik Menarik